Henrikh Mkhitaryan, mantan gelandang Manchester United, kembali membuka cerita lama yang mengejutkan publik. Berikut GOAL SCOLLEGE akan menjelaskan beberapa berita seputar bola yang menarik untuk dikunjungi.
Dalam autobiografinya yang baru dirilis, ia membongkar tekanan psikologis yang diterimanya dari Jose Mourinho saat masih berseragam Setan Merah. Cerita ini menjadi sorotan karena mengungkap sisi tak biasa dari hubungan pelatih dan pemain.
Pemain asal Armenia itu datang ke Old Trafford pada tahun 2016 dengan ekspektasi tinggi setelah tampil gemilang di Borussia Dortmund. Sayangnya, kariernya bersama United tak berjalan mulus. Meski sempat menyumbang gol dan assist penting, hubungannya dengan Mourinho justru memburuk dari waktu ke waktu.
AYO DUKUNG TIMNAS GARUDA, sekarang nonton pertandingan bola khusunya timnas garuda tanpa ribet, Segera download!
![]()
Dalam dua musim membela Manchester United, Mkhitaryan tampil dalam 63 pertandingan dan mencetak 13 gol serta 11 assist. Ia juga turut membawa klub menjuarai Liga Europa dan Carabao Cup, namun ketegangan dengan sang pelatih membuat kenangan indah itu berubah menjadi pengalaman pahit.
Teror WhatsApp Mourinho Setiap Malam
Dalam bukunya yang berjudul My Life Always at the Centre, Mkhitaryan mengungkapkan bahwa Mourinho tidak banyak berbicara saat sesi latihan. Namun, di balik sikap dinginnya, sang pelatih secara rutin mengirim pesan pribadi melalui WhatsApp setiap malam, berisi permintaan agar Mkhitaryan meninggalkan klub.
Pesan itu datang hampir setiap malam dengan kalimat serupa: “Miki, pergilah, kumohon.” Mkhitaryan mengaku kebingungan menghadapi situasi tersebut. Meski ditekan, ia tetap bersikeras bertahan sambil menunggu tawaran klub yang cocok untuk kariernya.
Jawaban Mkhitaryan pun konsisten: ia hanya akan pergi jika ada tim yang tepat. Jika tidak, ia memilih bertahan hingga akhir musim. Kondisi ini menambah tekanan mental baginya, apalagi ketika ia merasa tidak diberi kejelasan soal perannya di tim.
Baca Juga: Amorim: Mancheter United Pertahankan Formasi 3-4-3: Bukan Kalah karena Sistem
Puncak Ketegangan dan Pertukaran Kontroversial
Ketegangan antara Mourinho dan Mkhitaryan akhirnya mencapai puncaknya pada Januari 2018. Saat itu, Mourinho berambisi mendatangkan Alexis Sanchez dari Arsenal dan menjadikan Mkhitaryan sebagai bagian dari kesepakatan tukar tambah. Situasi menjadi semakin tidak nyaman bagi sang gelandang.
Dalam bukunya, Mkhitaryan menuliskan ucapan Mourinho yang sangat tegas: “Keluar dari sini, aku tidak ingin melihatmu lagi.” Perpisahan mereka berlangsung dengan nada emosional, bahkan sampai Mkhitaryan meminta Mourinho berhenti mengiriminya pesan pribadi.
Kesepakatan pertukaran pun akhirnya disepakati: Mkhitaryan bergabung ke Arsenal, sementara Sanchez ke Manchester United. Namun, ironisnya, keduanya gagal menunjukkan performa terbaik di klub barunya, membuat pertukaran itu dikenang sebagai salah satu transfer paling gagal di era modern.
Pelajaran dari Cerita Mkhitaryan
Kisah ini menjadi pengingat bahwa tekanan di dunia sepak bola tak hanya datang dari dalam lapangan. Hubungan antara pelatih dan pemain bisa sangat menentukan kenyamanan dan performa seorang atlet. Mkhitaryan, meski profesional, tak lepas dari dampak psikologis komunikasi intensif yang tidak sehat.
Dalam era modern seperti sekarang, transparansi dan komunikasi sehat antara pemain dan pelatih menjadi faktor penting. Perlakuan seperti yang dialami Mkhitaryan bisa merusak keharmonisan tim jika tidak dikelola dengan baik. Apalagi jika tekanan dilakukan secara terus-menerus di luar konteks resmi klub.
Kini, Mkhitaryan telah melanjutkan karier di luar Inggris dan menemukan kembali performa terbaiknya. Sementara Mourinho pun terus jadi sosok yang penuh kontroversi, baik di dalam maupun di luar lapangan. Cerita ini menjadi bab penting dalam sejarah hubungan pelatih-pemain yang rumit di sepak bola profesional
Manfaatkan waktu anda untuk melihat informasi seputar bola lainnya di goalscollege.com.